
JAKARTA – Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia mendorong kewenangan yang dimiliki para senator di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), karena sudah dipilih rakyat secara langsung. Hal ini untuk menyempurnakan kedudukan sistem bikameral dalam ketatanegaraan Indonesia yang terdiri dari dua kamar antara DPR dan DPD, agar memiliki kewenangan, serta kesetaraan hak di parlemen.
“DPD kita kan sudah dipilih oleh rakyat, kalau sudah dipilih oleh rakyat ngapain kewenangannya simbolik. Jadi harus diberi kewenangan yang kuat. Sehingga bikameralisme kita menjadi sempurna,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah dalam Gelora Talk bertajuk ‘Penguatan Lembaga DPD RI, Perlukah?’, Rabu (26/1/2022) petang.
Berita terkait: Fahri Hamzah: MPR Tidak Perlu Jadi Lembaga Permanen
Menurut Fahri, agar sistem tersebut menjadi sempurna, maka DPD harus berani mengkritik partai politik (parpol) di DPR. Sebab, yang bisa mengkritik DPR hanyalah DPD. “Yang bisa kritik parpol itu, itu hanya kamar sebelahnya. Karena itu saya sarankan tolong (DPD) kritik ke parpol juga disuarakan. Sebab keterpilihan anggota DPD, nggak ada hubungannya dengan parpol. Karena itu lah bikameral kita itu salah satunya adalah DPD juga harus mengkritik DPR ini,” ujarnya.
Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini mengatakan, beban kerja yang dimiliki DPR sangatlah banyak. Banyak pekerjaan yang tidak terselesaikan oleh DPR, namun disayangkan beban kerjanya tersebut tidak diserahkan ke DPD. “Coba bayangkan jika sebagian pekerjaan itu dibagi, dikonkretkan misalnya UU sudah memberikan kewenangan otonomi daerah, hubungan pusat daerah tapi coba dikonkretkan, baik hak legislasi, anggaran maupun pengawasan, saya kira itu lebih berimbang dua kamar cabang kekuasaan ini,” ujarnya.
Baca juga: Partai Gelora Usulkan Perombakan Total Sistem Politik karena Mencederai Demokrasi
Selain itu Partai Gelora, lanjut Fahri, juga menginginkan agar DPD diisi oleh tokoh-tokoh daerah dari kesultanan seperti Wakil Ketua DPD Sultan Bahtiar Najamuddin, yang memiliki kekuasaan riil terhadap rakyatnya di daerah. “Anggota DPD RI bisa diisi oleh sultan-sultan yang masih ada di Indonesia, seperti Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore 950 tahun itu penguasa kawasan Pasifik dulu,” kata Fahri.
Hal senada disampaikan oleh cendikiawan muslim Prof Azyumardi Azra. Azyumardi menilai DPD sebagai wujud dari kedaulatan daerah, tapi tidak punya kewenangan, meski dipilih langsung oleh rakyat. Kondisi tersebut, sengaja diciptakan untuk penguatan peran presiden dan oligarki partai politik di DPR untuk melucuti kedaulatan rakyat dan daerah. Sehingga parlemen saat ini terkesan kembali seperti tukang stempel.
Lihat juga: Fraksi di DPR Perlu Dihapus, Fahri Hamzah Sebut Legislatif Dibuat Tidak Berfungsi
“DPR saat ini seperti apa yang disebut orang sebagai tukang stempel kemauan presiden, seperti diloloskannya Undang-undang Ibu Kota Negara (IKN) dan UU Ciptaker,” kata Azyumardi. Karena itu, ia menilai kehadiran DPD saat ini boleh dikatakan antara ada dan tiada, karena tidak memiliki kewenangan legislasi yang memadai, sehingga penguatan DPD menjadi urgent.
Wakil Ketua DPD RI Sultan Baktiar Najamudin mengungkapkan, banyak aspirasi daerah yang diabaikan DPR seperti usulan RUU Daerah Kepulauan dan RUU Bumdes yang sudah bertahun-tahun diusulkan tidak mendapat perhatian, bahkan dikeluarkan dari Prolegnas. Sementara, kata Sultan, banyak undang-undang yang sudah diketok DPR tanpa memperhatikan aspirasi DPD, sehingga rentan gugatan karena unsur politisnya dan pembahasannya dilakukan dilakukan dalam waktu singkat seperti UU Cipta Kerja dan UU IKN (Ibu Kota Negara).(e*)