
Jakarta, Findonews.com – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) membedah pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018. Lembaga itu memandang ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Karena, Indef menilai capaian pertumbuhan tersebut ternyata bersifat paradoks. Ada kontraproduktif antara kinerja variabel makro ekonomi dengan sektor riil.
“Kami perlu sampaikan sejak dini ke pemerintah. Karena kalau kondisi ini nggak diantisipasi akan menimbulkan kerugian,” ungkap Direktur Indef Enny Sri Hartati di Kantor Indef di Jakarta, 8/08/18.
Dia memaparkan, pertumbuhan ekonomi 5,27 persen kontribusi signifikannya dari belanja pemerintah. Antara lain karena pemberian tunjangan Hari Raya (THR) dan bantuan sosial.
Menurut Enny akselerasi belanja pemerintah ternyata hanya berdampak pada peningkatan sektor konsumtif (konsumsi rumah tangga). Sementara sektor produktif (investasi) mengalami penurunan.
Seperti diketahui, pada kuartal II-2018, belanja pemerintah tumbuh 5,26 persen. Realisasi itu mengalami kenaikan dari 6,31 persen pada kuartal Imenjadi 8,5 persen pada kuartal II-2018. Realisasi belanja APBN kuartal II 2018 mencapai Rp 523,70 triliun (23,58 persen).
Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) pada kuartal I-2018 tumbuh 7,95 persen, dengan kontribusi 32,12 persen. Namun pada kuartal II 2018, hanya tumbuh 5,87 persen dan kontribusinya turun menjadi 31,15 persen. Pada sektor produktif, pertumbuhan industri manufaktur non migas mengalami penurunan dari 5,07 persen ke 4,41 persen. Dan, secara keseluruhan pertumbuhan sektor industri anjlok 3,9 persen pada kuartal II.
Dengan adanya peningkatan konsumsi rumah tangga dan kenaikan inventori, sementara pertumbuhan industri manufaktur menurun, Enny mensinyalir konsumsi pasar Indonesia dipenuhi barang dari impor.
“Itu terjawab, ada peningkatan impor yang signifikan, mencapai 15 persen lebih,” ujarnya.
Ahmad Heri Firdaus, peneliti Indef menyarankan pemerintah untuk meningkatkan kinerja ekspor. Apalagi, sepanjang tahun ini pertumbuhan eskpor lebih rendah dibandingkan pertumbuhan impor yang menyebabkan defisit neraca perdagangan. Selain itu, pangsa ekspor Indonesia terhadap total ekspor dunia terus mengalami penurunan. Pada 2013, pangsa ekspor Indonesia terhadap total ekspor dunia mencapai lebih dari 1 persen, namun pada 2017 pangsanya menyusut menjadi 0,9 persen.
“Sepanjang 2013-2016, pangsa ekspor Vietnam terhadap ekspor dunia naik dari 0,7 persen menjadi 1,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pangsa pasar ekspor Indonesia telah direbut oleh negara kompetitor, artinya produk-produk domestik masih sulit melakukan penetrasi di pasar global,” katanya.
Dia menambahkan, neraca perdagangan pada kuartal II-2018 yang defisit 1,02 miliar dolar AS menyebabkan reduksi terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk pertama kalinya sejak 2014, pangsa neraca perdagangan justru mereduksi pertumbuhan ekonomi dengan pangsa sebesar 0,52 persen dari sebelumnya berperan 0,33 persen pada kuartal I 2018.